Oleh: Prof. Dr. drg. Maharani Laillyza Apriasari, SpPM
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat (ULM)
Kelahiran Surabaya, 18 April 1977
Setiap kali kita memperingati Hari Kartini, saya selalu merenung tentang arti perjuangan seorang perempuan bernama Raden Ajeng Kartini yang keberaniannya membuka jalan bagi perempuan Indonesia untuk bermimpi dan mengaktualisasi diri melalui pendidikan. Sebagai seorang akademisi dan perempuan Indonesia, Hari Kartini bagi saya adalah momen yang sarat makna—sebuah pengingat betapa pendidikan adalah hak dasar yang harus dijamin untuk setiap perempuan tanpa terkecuali.
Kartini bukan hanya simbol sejarah. Ia adalah inspirasi yang terus hidup. Dalam konteks masa kini, perjuangan Kartini terlihat dari bagaimana perempuan mulai mengambil peran penting di dunia pendidikan dan akademik. Semakin banyak perempuan yang menjadi dosen, peneliti, bahkan pemimpin di institusi pendidikan. Namun, jalan yang kita tempuh tentu tidak selalu mulus.
Masih ada tantangan nyata yang dihadapi perempuan Indonesia dalam mengejar pendidikan dan karier. Budaya patriarki masih kuat mengakar di berbagai daerah, membatasi ruang gerak dan mimpi banyak perempuan. Representasi perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di pemerintahan maupun dalam kepemimpinan akademik, masih belum setara. Karena itu, kita memerlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan untuk menciptakan ekosistem yang inklusif dan mendukung perempuan dalam mencapai potensinya.
Era digital seharusnya menjadi momentum baru bagi perempuan untuk terus melanjutkan semangat emansipasi Kartini. Teknologi dan internet membuka akses informasi dan pendidikan yang lebih luas. Platform daring bisa dimanfaatkan untuk memperluas wawasan, membangun jaringan, hingga menyuarakan opini dalam isu-isu sosial, politik, dan budaya. Bahkan media sosial bisa menjadi alat pemberdayaan perempuan dalam membangun keberanian, kesadaran, dan solidaritas.
Dalam perjalanan pribadi saya, inspirasi terbesar bukan hanya datang dari Kartini, tetapi juga dari sosok perempuan luar biasa yang membesarkan saya: ibu saya. Beliau adalah seorang dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang tak pernah lelah belajar, bahkan hingga usia yang tak muda. Saat saya menyelesaikan pendidikan dokter gigi, ibu saya tengah menempuh pendidikan S2. Dan beliau terus menempuh S3 hingga tuntas. Dari beliau, saya belajar bahwa usia tidak membatasi semangat untuk meraih ilmu. Semangat itulah yang membawa saya menyelesaikan spesialis Penyakit Mulut di usia 33 tahun dan Program Doktor di usia 39 tahun. Alhamdulillah, pada usia 46 tahun saya diberi amanah sebagai Guru Besar di Fakultas Kedokteran Gigi ULM.
Menjadi profesor bukan perkara mudah. Dibutuhkan kerja keras, ketekunan, dan komitmen. Ada proses panjang: pendidikan lanjutan, publikasi ilmiah, karya intelektual, hingga keterlibatan aktif di forum-forum ilmiah nasional dan internasional. Namun semua itu harus dilakukan dengan penuh kejujuran, semangat, dan yang terpenting: kebahagiaan. Saya percaya, perempuan bisa sukses tanpa harus mengesampingkan perannya sebagai ibu, istri, dan bagian penting dari keluarga.
Dalam kapasitas saya sebagai dekan, saya bersyukur karena diberi kesempatan dan kepercayaan untuk memimpin. Bahkan sebagai satu-satunya dekan perempuan di ULM saat ini, saya merasa diberdayakan dan didukung. Ini menunjukkan bahwa ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam kepemimpinan akademik semakin terbuka.
Institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan yang ramah gender. Kurikulum yang inklusif, metode pembelajaran yang adil, dan sistem pengawasan yang tegas terhadap kekerasan berbasis gender harus menjadi prioritas. Kita juga perlu mendorong lebih banyak perempuan untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan di kampus.
Jika saya bisa menyampaikan satu pesan kepada R.A. Kartini hari ini, saya ingin berkata: “Kartini, semangatmu tidak padam. Pendidikan adalah investasi yang terus kami perjuangkan. Kini, kami melanjutkan mimpimu untuk menjadikan perempuan Indonesia terdidik, berani, dan berdaya.”
Dan untuk para perempuan muda Indonesia, khususnya para mahasiswi: jangan pernah ragu untuk bermimpi besar. Berjuanglah dengan tekun, jujur, dan pantang menyerah. Pendidikan akan mengubah hidupmu dan juga kehidupan banyak orang di sekitarmu.
Saya bermimpi, dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, perempuan Indonesia berdiri sejajar dalam setiap lini kehidupan: pendidikan, ekonomi, politik, budaya. Mereka tidak hanya menjadi peserta, tapi juga pemimpin yang cerdas, berani, dan berbudi luhur. Karena perempuan yang bahagia dan berdaya adalah kunci bagi masa depan bangsa yang gemilang. *
Hebat, penuh motivasi, semoga perempuan Indonesia teguh, cerdas, berani, dan berbudi luhur. Berguna bagi masa depan bangsa yang gemilang.
Semangat Kak!